Bila Ingat Akan Kembali
Massa membakar ban saat kerusuhan di pintu masuk Jalan Trikora Wosi Manokwari, Senin (19/8/2019)
Coretan
kenangan di Tanah Papua
Entah kenapa saya merasa terganggu ketika ada tindakan yang mencoba membangkitkan kemarahan orang Papua. Saya membayangkan, persaudaraan dan toleransi yang sudah begitu kuat akan terganggu di sana. Mereka dengan anarkis akan merusak pasar, gedung perkantoran dan memblokir jalan sebagai pelampiasan kemarahannya.
"Klo nakal ki di kampung ta, cukup di sana saja. Jangan dibawa nakal ta ketika merantau di Papua. Karena yang susah bukan cuma diri ta tapi semua warga pendatang," ucapnya ketika saya ngobrol dengan seorang warga pendatang di Pasar Baru Biak Numfor. Pasar terbesar di Kota itu.
Saya termasuk orang yang sangat beruntung pernah menginjakkan kaki di Papua dan berbaur dengan mereka. Akhirnya sedikit banyak mengenal karakternya.
Tahun 2002, setelah menyelesaikan kuliah di UNHAS, saya bersama tim melakukan survey di Serui. Menurut warga di sana, ketika orang menyebut Serui maka yang teringat adalah cewek Perancisnya. Perancis adalah akronim dari peranakan Cina-Serui. Ceweknya cantik2.
Setelah survey di Serui selesai, ternyata pekerjaan berikutnya yang saya dapatkan masih di Papua. Akhirnya, saya pun kembali lagi untuk pekerjaan Survey Perencanaan Pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera di Biak dan Merauke.
Dari beberapa kabupaten yang pernah saya kunjungi di Papua, di Biak lah yg paling berkesan. Mungkin karena saya lumayan lama menetap disana dibandingkan kabupaten lainnya. Bersama tim oceanografy, kurang lebih sebulan. Sementara, dengan Tim Sondir dari teknik sipil Unhas, selama 2 bulan lebih.
Tak pernah sedikit pun ada niat menolak ketika di ajak kesana. Pertama, butuh uang karena tidak ada pekerjaan lain alias pengangguran. Kedua, saya mulai suka suasana di Papua walaupun kita selalu dalam bayang-bayang penyakit malaria. Tapi jangan takut, yang penting jangan banyak diam dan perut jangan dibiarkan kosong (lapar). Tips yang saya dengar dari beberapa orang yang sudah lama menetap disana.
Bersama tim kami tidak tinggal di Kota, tapi di Pedalaman. Kampung Samber, tepatnya di Distrik Yendidori. Di kampung inilah saya merasa dekat dengan orang Papua. Walaupun itu hanya beberapa orang tertentu. Warga di kampung juga tidak terlalu banyak. Kami bercerita setiap hari, makan dan tidur bersama di dalam tenda yang kami bangun di pinggir laut.
Ketika proyek berakhir, mereka, sekitar 4 orang mengantar saya dan tim ke Bandara Frans Kaisiepo, di Biak. Butuh waktu 1 jam lebih dengan menggunakan mobil menuju bandara dari kampung. Masih teringat betul, mereka meneteskan air mata seolah tak rela berpisah dengan kami. Sambil bersalaman dan berpelukan dia berkata "Biak, Bila Ingat Akan Kembali".
Nagappana.
Damailah Papua, tanah yang akan selalu dirindukan!
Boger
Makassar, 20 Agustus 2019
Komentar