Kisah Jepang yang memaksa warganya beralih ke tranportasi massal
Penumpang menaiki kereta Yamanote Line yang penuh sesak di Stasiun Shinjuku, Tokyo, Jepang, Sabtu (25/5/2019). (AP Photo/Jae C. Hong)
Saya sempat menilai bahwa sempitnya lahan
parkir di kantor Balaikota Makassar dan beberapa kantor pemerintahan lainnya
adalah sebuah kesalahan perencanaan.
Ternyata saya keliru. Justru, menyediakan
lahan parkir yang luas maka akan menimbulkan kemacetan. Seperti halnya di
Tokyo, pembatasan lahan parkir merupakan sisi eksternal pendukung Pembatasan
jumlah kepemilikan kendaraan. Selanjutnya, tinggal bagaimana menyediakan
angkutan massal yang aman dan nyaman, membuat regulasi parkir, serta tegas
dalam penerapan aturan tersebut.
Hal ini saya sadari, setelah membaca bagaimana sistem kelola parkir di kota Tokyo, Jepang.
Soal sistem kelola, Kompas.com mencontohkan bahwa kota Tokyo memiliki pengelolaan masalah parkir dari hulu sampai hilir. Mulai dari kepemilikan, lahan, hingga regulasi yang komprehensif.
Negeri asal Doraemon itu menerapkan pembatasan lahan parkir dan pengenaan tarif tinggi sebagai strategi mengatasi kemacetan, terutama di kota Tokyo. Cara ini sekaligus upaya memaksa warganya beralih dari mobil pribadi ke alat transportasi umum.
Atase Perhubungan Republik Indonsia di Tokyo, Popik Montanasyah, bercerita soal pengaturan parkir di negara tersebut.
"Di Tokyo, kapasitas parkir untuk gedung pemerintahan hanya untuk 20 hingga 40 mobil. Itu pun hanya untuk mobil sedan," ujar Popik.
Adapun di gedung perniagaan, kapasitasnya antara 50 dan 100 mobil, dengan tarif 600 yen per jam, setara Rp67 ribu. "Ruko untuk perkantoran swasta atau pertokoan rata-rata hampir tidak memiliki tempat parkir tersendiri," lanjut Popik.
Bila di Indonesia, pembatasan kapasitas tersebut bisa jadi "diakali" dengan parkir di pinggir jalan. Di Jepang, "akal-akalan" begitu sudah diantisipasi.
Pemerintah Tokyo membolehkan parkir di pinggir jalan, tetapi hanya di ruas jalan tertentu. Itu pun, posisinya harus sebaris dan sejajar jalan saja, dan waktunya dibatasi hanya 15-60 menit.
"Untuk parkir di pinggir jalan biayanya bervariasi mulai dari 300 yen sekali parkir (setara Rp33.000)."
Sanksi atas pelanggaran aturan parkir itu juga diterapkan secara tegas. Pelanggar aturan parkir di tepi jalan, akan terkena denda 6.000 yen atau setara Rp670 ribu.
Bagaimana dengan transportasi massal di Tokyo?
Negara-negara maju biasanya telah memiliki sistem transportasi massal yang sudah mapan. Contohnya di Tokyo, Jepang, kota metropolitan dengan jumlah penduduk puluhan juta jiwa.
"Tokyo ini penduduknya 30 juta (jiwa). Kalau seluruh pulau itu jumlah 120 juta, berarti seperempat penduduk negara tersebut tinggal di Tokyo," ujar pengamat transportasi Irwan Prasetyo saat diskusi "Transportasi Massal untuk Siapa" di Planner Center, Jakarta, Jumat (24/2/2017).
Menurut dia, untuk mengakomodasi mobilitas penduduk, Tokyo membangun subway, atau sejenis kereta api listrik (KRL) seperti di Jakarta.
Jaringan kereta ini membuat nilai lahan-lahan di sekitar stasiun kereta menjadi tinggi. Pasalnya, setiap orang bergantung pada transportasi ini.
Semua kalangan menggunakannya, tidak hanya pekerja biasa, tetapi juga para petinggi perusahaan. Subway ini menjadi acuan karena waktunya sangat tepat sampai per detiknya.
"Alhasil, karena sudah kental dengan subway, mobil enggak populer di sana," sebut Irwan.
Ia melanjutkan, mobil hanya dipakai pada Sabtu-Minggu saat beraktivitas dengan keluarga.
Komentar