Biogas di Kampung Romang Tangngayya Kota Makassar
Kondisi jalan di Romang Tangngayya (dok: Syamsul 'Boger' Bahri/DP2 Makassar)
Makassar - Romang Tangangaya merupakan salah
satu kampung di Kota Makassar, tepatnya di Kelurahan Tamangapa Kecamatan
Manggala. Kampung ini di apit oleh dua Kabupaten yakni Kabupaten Gowa dan Maros.
Pertumbuhan penduduk di kampung itu tidak
terlalu signifikan, dimana awal mula warga asli hanya beberapa orang saja. Saat
ini, warga Romang Tangangaya pun mulai bertambah menjadi 70 KK dengan datangnya
warga yang berasal dari Gowa yakni Malakaji dan Malino menetap di wilayah
tersebut. Sebagian besar warga berprofesi sebagai petani dan peternak.
Permasalahan utama di kampung ini adalah
akses jalan yang rusak dan banjir yang rutin terjadi setiap tahunnya. Hanya
tinggi air yang membedakan. Tergantung tingginya curah hujan.
Pada tahun 2015, beberapa warga yang
tergabung dalam Kelompok Ternak “Makkaletutu” mencoba peruntungan dengan
memasukkan proposal bantuan biogas di Dinas Perikanan dan Pertanian Kota
Makassar.
Menurut Daeng Rurung (45), ini mereka
lakukan dalam menyikapi sulitnya mendapatkan tabung gas untuk memasak, yang
untuk membelinya harus keluar dari kampung. Kalau musim kemarau tidak jadi
masalah. Tapi ketika musim hujan, kampung akan terendam air. Setelah banjir
reda pun, jalananan masih becek dan licin sehingga tidak bisa dilewati
kendaraan. Jika hujan tidak turun lagi, masih butuh waktu 4-7 hari untuk
bisa kembali melewatinya.
Bak gayung bersambut, mimpi kelompok
Makkaletutu pun terwujud. Pada tahun 2018, biogas yang mereka butuhkan itu
terealisasi melalui program Penerapan Biogas Limbah Ternak pada Dinas Perikanan
dan Pertanian Kota Makassar.
“Alhamdulillah, pada tahun ini Insya Allah
akan dibangun biogas di Romang Tangngayya,” ucapku disela kegiatan pelatihan
Penerapan Teknologi Peternakan yang dilaksanakan sebelum biogas dibangun.
Daeng Rurung yang merupakan ketua kelompok
Makkaletutu nampak mengangguk dan tersenyum mendengarnya. Pelatihan ini sendiri
melibatkan peserta dari beberapa yang akan menerima bantuan biogas.
“Sebenarnya bukan cuma gasnya pak, saya nanti
bisa membuat pupuk organik dari ampasnya,” ucapnya ketika kami berbicara
setelah pelatihan selesai.
Singkat cerita, setelah pembangunan selesai
pada bulan November 2018, biogas tersebut tidak langsung menyala. Tahapan
selanjutnya adalah pengisian kotoran ternak ke dalam reaktor biogas. Kalau
rajin memasukkan kotoran ternak ke dalam reaktor, maka menyalanya pun bisa
lebih cepat. Tergantung lagi kepada penerima bantuan
April 2019, saya menghubungi Deng Rurung
untuk sekedar menanyakan pemanfaatan dari biogas yang telah dibangun.
Sebenarnya saya mau langsung bertemu sekaligus memonitoring pemanfaatan bantuan
tersebut. Namun apalah daya, lagi lagi kendaraan tidak bisa masuk setelah hujan
deras dan banjir rutin di kampung tersebut.
“Jalanan rusak sekali pak,” ucapnya mengawali
obrolan kami via telepon.
“Alhamdulillah 6 unit sudah menyala pak,
sudah bisa digunakan memasak. Yang 3 nya lagi masih terus diisi,” lanjutnya
ketika saya menanyakan tentang biogas yang telah dibangun.
Saya pun bersyukur karena mereka sudah
merasakan manfaatnya. Pertanyaan pun berlanjut, saya menanyakan kondisinya
(biogas) setelah banjir melanda daerah itu. Saya mengkhawatirkan biogasnya ada
masalah setelah terendam air.
“Masih berfungsi pak, malah beberapa tetangga
yang kehabisan gas datang ke rumah penerima untuk memasak,” jawabnya singkat.
Mendengar itu pun saya semakin senang. Saya
sangat bersyukur karena yang merasakan manfaatnya bukan cuma kelompok penerima
semata, tapi warga lainnya juga.
“Oke pak, tolong dimotivasi penerima yang
lain supaya terus mengisi (reaktor). Biar bisa juga digunakan. Kalau ada yang
rusak juga secepatnya dilaporkan,” ucapku mengakhiri pembicaraan.
Nyala
Semakin Biru, Kampung juga Bersih
Selasa (12/11/2019), untuk kesekian kalinya
saya bersama tim menjejakkan kaki di kampung ini. Kampung yang tiga tahun lalu
hanya terdengar namanya ketika teman kantor bercerita. Cerita tentang jalan
tani, irigasi, ternak, dan kondisi wilayahnya.
Kunjungan ini untuk memonitoring pemanfaatan bantuan biogas, sekaligus
memantau progress pekerjaan yang sementara berjalan. Tahun 2019,
Kelompok Makkaletutu kembali menerima bantuan 6 unit biogas.
Kali ini ada yang berbeda ketika kami
menyusuri kampung. Pertama kali kesini, saya masih dengan mudahnya melihat
kotoran ternak baik di jalan maupun di depan rumah warga. Namun untuk kunjungan
kali ini saya tidak menemukannya lagi.
Saat ini
beberapa penerima bantuan memilih mengandangkan ternaknya dari pada membawanya
keluar. Mereka yang mencari pakan. Harapannya agar bisa mendapatkan kotoran
ternak yang cukup.
“Bagaimana,
a’rinra ji Daeng?,” tanyaku ketika berkunjung di rumah Daeng Nyanrang, salah
seorang warga yang telah menerima bantuan.
“Alhamdulillah,
tambah biru ki nyalanya pak,” jawabnya dengan senyum merekah.
“Itu tabung
gas tidak pernah mi terpakai pak,” lanjutnya sambil menunjuk tabung Bright Gas
warna pink yang nampak sudah berdebu.
Di rumah
Daeng Nyanrang, saya dan tim juga ditemani oleh Daeng Rurung.
“Dulu Daeng
Sewang memiliki 3 ekor sapi Pak, sekarang tinggal 1 ekor karena yang 2 sudah
mati,” ucap Daeng Rurung.
Menurut
Daeng Nyanrang, kondisi ini membuat Daeng Sewang harus berkeliling kampung
mengumpulkan kotoran ternak untuk dimasukkan ke dalam reaktor biogasnya. Ini
dilakukannya 2-3 kali dalam seminggu.
Daeng Sewang juga merupakan
penerima bantuan. Rumahnya berhadapan dengan rumah Daeng Nyanrang tempat kami
ngobrol dan menikmati kopi yang disajikan.
Penulis: Syamsul ‘Boger’ Bahri (DP2 Makassar)
Komentar